Hari itu adalah hari terpusing yang pernah kualami. Pukul setengah tujuh pagi harus sudah sampai di kampus untuk masuk kelas. Kalkulus.
Setelah mandi dan sarapan dengan mie instant buatan local, aku bergegas berganti kostum putih biru. Memakai sepatu kemudian cabut menuju kampus. Sengaja berlari- lari kecil dan tak mengambil langkah besar- besar karena bingung antara takut kesiangan dan dandanan yang hancur. Sepuluh menit kuhabiskan dalam perjalanan, hemat lima menit dari biasanya. Dandanan aman, kelaspun tak kesiangan.
Kalkulus, dosennya sangar dan garang untuk ukuran seorang dosen perempuan, lebih tepatnya ibu- ibu. Jika disamakan dengan tokoh dari dunia dongeng maka beliau serasi dengan panggilan nenek sihir, atau ibu peri jahat. Yang tak punya belas kasihan ketika memberikan tugas dengan soal yang beranak pinak.
Sengaja memilih tempat duduk di tengah yang menjadi zona aman agar tidak disuruh maju kedepan, karena biasanya yang disuruh maju adalah barisan paling belakang atau depan. Ditambah dengan sedikit acting pura- pura nulis orat- oret menghitung mencoba menjawab soal, perfect. Nama diri aman terjaga.
Satu jam setengah yang menegangkan terlewati, kertas orat- oret sudah terisi penuh dengan deretan angka- angka tak jelas dan tak beraturan. Sanksi, bahkan seorang ahli matematik pun tak akan mengerti arti dari orat- oret tersebut.
***
Kelas kedua adalah kelas bahasa Indonesia.
Sejujurnya aku adalah orang yang paling nelangsa di dunia pendidikan. Tak ada satu bidang studipun yang terpatri tulus dalam hati. Semuanya serba dipaksakan untuk bisa, dan tak pernah bisa. Ibarat pepatah mengatakan masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Setiap malam aku selalu curhat pada Sang Mahakuasa, meminta jawaban, penjelasan serta petunjuk atas masalahku ini. Belum terjawab sampai sekarang, dan semuanya masih kulakukan dengan setengah hati. Semuanya masih dalam pencarian jati diri seorang Aku.
Dosennya tak begitu pemarah dan sensitive. Tapi menurutku beliau tak cocok menjadi dosen dan telah salah langkah mengambil jalan menjadi dosen. Beliau lebih cocok kerja di biro jodoh alias makcomblang. Aku adalah korban bakat terpendam beliau, di pasangkan seenaknya dengan seorang perempuan tentunya. Padalah cinta adalah masalah hati, dan hati tak bias di permainkan seenaknya.
Satu jam setengah sudah hamper lewat, materi mengalir terus menerus dari mulutnya dan dari slide yang beliau tampilkan. Aku hanya memperhatikan sekenanya. Sisanya kuhabiskan waktu dengan menggambar- gambar tak jelas di halaman terakhir buku tulisku. Kebiasaan anak SD.
***
Besok adalah hari terburuk yang sebenarnya, Fisika dan Kimia. Dan sialnya keduanya ada tugas yang beranak pinak juga. Sepulang ngampus, aku dan beberapa temanku sepakat untuk pergi ke perpustakaan mengerjakan tugas bersama- sama, padahal hanya ikut nimbrung copy paste.
“Kalo kita merasa tidak merasa pintar dalam hal apapun, cobalah bersosialisasi dan jangan menyendiri”
Itu pesan yang sangat kuingat, punya teman harus sedikit dimanfaatkan.
Perpustakaan kampus siang hari.
Panasnya sinar matahari tak begitu terasa di ruangan ini, sejuk. Disain interiornya futuristic dan sedap dipandang mata, membuatku ingin berlama- lama.
Masing- masing sibuk dengan kertasnya begitupun diriku sibuk dengan pikiranku. Mengikuti jejak mereka membolak- balik lembar soal, menatap langit- langit seolah berpikir, kemudian menulis sekenanya di kertas orat- oret, bertanya kekanan dan kiri seolah memastikan padahal bingung sendiri dengan pertanyaan yang di ajukan.
Setelah ada yang berhasil menjawab satu soal, aku memintanya. “Nyamain dong.” Lembar jawaban ada di tangan, dengan gesit, segesit rossi melibas tikungan lintasan, jawaban itu sudah tercopy di lembar jawabanku. “Makasih.”
Tiga jam berlalu, dan tugaspun beres. Aku tersenyum lebar, puas. Waktunya beres- beres.
Aku termenung lama, seharian ini banyak menghasilkan orat- oret yang tidak perlu, dan ini sangat mengganggu tampilan bukuku. Dengan sigap aku mengumpulkan orat- oret yang sudah tak perlu. Ada 5 lembar sampah di tanganku.
Sebagai seorang mahasiswa dan warga Negara yang baik dan aku sadar akan hal itu, maka aku akan membuang sampah ke tempat sampah.
***
Kertas yang sudah tidak ada gunanya aku remas menjadi gumpalan sebesar kepalan tangan yang bisa di lempar ke kepala orang. Gumpalan orat- oret.
Sekeluarnya dari perpustakaan aku berharap menemukan seonggok tempat sampah terpampang jelas disitu dan dapat melemparkan gumpalan kertas tadi dengan gaya Jordan lempar bola basket three point. Tapi harapan itu sirna karena seonggok tempat sampah tidak ada disitu. Kecewa.
Berjalan menyusuri koridor madding yang didepannya terdapat gazebo tempat para mahasiswa nongkrong. Lagi- lagi seonggok tempat sampah tak terdapat disana yang ada hanya plastic bekas makanan ringan yang berserakan di bawah gazebo. Miris hatiku melihatnya, jika tak ada orangnya aku akan ambil sampah itu dan membuangnya ketempat sampah. Kecewa.
Ceritanya melanjutkan perjalanan dengan hati kecewa karena belum menemukan seonggok tempat sampah yang layak untuk jadi persinggahan terakhir gumpalan orat- oret.
Lapangan rektorat, koridor gsg, lapangan tenis. Nihil.
Entah mataku yang kurang jeli karena kebanyakan nyontek atau memang seonggok tempat sampah itu hilang bagai hantu atau tersamarkan layaknya bunglon? Semoga hal pertama yang menjadi alasan.
Alhasil gumpalan orat- oret itu mendarat di tempat sampah depan kosku.
***
Orang tua dulu bilang, “kebiasaan- kebiasaan kita di masa muda mencerminkan kita di masa depan.”
Aku tak ingin di masa dewasaku dihabiskan sebagai prajurit berseragam jingga dengan senjata sapu karena kepesulianku pada sampah. Minimal aku bias menjadi bos mereka. Tidak juga. Aku ingin menjadi menteri lingkungan hidup, kalau emang ada?
0 koment:
Post a Comment