Ads 468x60px

Friday, 26 August 2011

BEGINN

Ini adalah kisahku, kisah tentang persahabatan, cinta, dan mimpi.

Aku berdiri gemetar di depan sebuah gapura dengan hiasan kaligrafi arab yang indah nan cantik. Tuliasannya berwarna kuning dengan latar hijau terpampang jelas di depanku. Bayangan lukisan ini mungkin akan terekam selamanya di benakku dan akan diceritakan  kepada anak cucuku, tentang kisah diriku yang gemetar dengan dada sesak, perasaan yang tak dapat di ungkapkan karena kesedihan dan kepedihan yang kurasakan saat itu. Aku berjalan perlahan diiringi ayah dan ibuku ang menuntunku agar terus bisa berjalan sampai melewati gapura itu.

Umurku baru 11 tahun ketika itu. Dituntut untuk bisa mandiri seutuhnya, tanpa keluarga, tanpa teman- teman kecilku, terasingkan di dunia yang sama sekali baru, yang tak pernah terbesit dibenaku bahwa aku akan sanggup melakukan hal GILA ini. Berada jauh dari kampung halaman pada umurku yang masih kecil beratus- ratus kilometer dari rumah yang aku rindukan.

Gunung Ceremai dengan keanggunan dan keangkuhannya yang melatari tempat dimana kisah ini terjadi seolah menertawakanku, mengejeku dengan bahasa yang tidak bisa aku mengerti. Angin gunung yang dihasilkannya menerpa diriku seolah- olah merayuku untuk menumpahkan air mata kesedihan.

Sudah 5 jam aku menahan rasa sesak ini, selama itu juga aku menahan air mata ini agar tidak tumpah membasahi pipi. Aku bukan anak manja, bukan juga anak yang mau dipanggil anak cengeng, aku ini laki- laki. Aku ini akan menjadi seorang laki- laki yang kuat, yang tegar, yang berpendirian. Sebisa mungkin keluargaku tidak akan melihat aku menangis.

Sejahat apapun mereka ketika itu yang rela mengasingkanku dari peradaban, mengucilkanku di tempat yang jauh, mengisolasiku dengan orang- orang yang sama sekali tidak aku kenal. Dalam hati ini aku masih menyayangi mereka.

***

Sebuah pesantren, letaknya di kota kuningan yang terkenal dengan desa Linggarjatinya dan juga gunung tertinggi di jawa barat, gunung ceremai. Udaranya tidak begitu berbeda dengan di Bandung, kampung halamanku. Hari- hari pertamaku disini seburuk yang kukira, aku kurang bisa bergaul dengan orang- orang baru, darah sundaku mengalir begitu deras di nadiku. Berbeda dengan orang dari suku lain, mereka begitu mudah bergaul.

Asal kalian tau, hampir setiap 2 jam aku pergi ke kamar mandi, memandang diriku dicermin menangis tanpa suara, meneteskan air mata. Disini aku sendiri dan aku bisa mengekspresikan perasaanku sejadi-jadinya. Aku menangis dalam diam.

Terbesit penyesalan, "Kenapa dulu kusanggupi untuk sekolah disini." Aku sangat menyesal.

Ternyata tangisanku tak membuat keadaan hatiku membaik, malah sebaliknya. Rinduku semakin rindu, Sedihku semakin sedih, Tangisku semakin menjadi, dan aku semakin terpuruk dalam kesedihan.

Tok, Tok, Tok.

Suara ketukan pintu mengagetkanku, memaksaku untuk berhenti dari kekalutan ini. Aku bersyukur karena rasa maluku ternyata menyelamatkanku dari kesedihan ini. Kuseka air mata ini, kuambil air dan membasuhkannya dimuka. "Tunggu, sebentar." Aku keluar sambil mencoba tersenyum. Dia balas tersenyum dan aku langsung pergi.
***


0 koment:

Post a Comment